SUKU BANGSA DI INDONESIA ( SUKU TORAJA )
Nama
|
Kelas
|
No
Absen
|
Mapel
|
Eko Riyadi
|
XI TKJ 1
|
IPS
(
Suku Bangsa Di Indonesia )
|
|
M. Arif Fuadi
|
|||
M. Nur Rizal Prastiya
|
|||
Sartini
|
|||
Sri Indriyani
|
|||
Umi Nur Latifah
|
Analisis :
Ø Sistem
Kepercayaan
Ø Sistem
Kekerabatan
Ø Sistem
Politik
Ø Sistem
Kemasyarakatan
Ø Sistem
Ekonomi
Ø Kesenian
Pembahasan
1. Sistem
Kepercayaan
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi
Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan
sekitar 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten
Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama kristen,
sementara sebagian menganut islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai
Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini
sebagai bagian dari Agama Hindhu Dharma.
Sistem kepercayaan tradisional
suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan"
(kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur
orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian
digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua,
dewa pencipta Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan
tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia,
dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo'
Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo'
Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata
dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam
upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk
bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum,
agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik
pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu
desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual
kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual
kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual
kehidupan. Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris
dari Belanda dan orang Kristen. Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau
menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.
Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi
ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.
2. Sistem
Kekerabatan
Keluarga adalah kelompok sosial
dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar.
Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa.
Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu
keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan
kekerabatan. Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan
sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.
Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa
keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau,
dan saling membayarkan utang.
Setiap orang menjadi anggota
dari keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal
dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak
diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat
yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas
nama ibu, ayah dan saudara kandung.
3. Sistem
Politik
Sebelum adanya pemerintahan
resmi oleh pemerintah kabupaten Yana Toraja masing-masing desa melakukan
pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja
tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk
kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain.
Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi
rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran
kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun
hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan
masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa
yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh
atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan
bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang
4. Sistem
Kemasyarakatan
Dalam masyarakat Toraja awal,
hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas social. Ada tiga tingkatan kelas
sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun
1909 oleh pemerintah Hindia Belanda ). Kelas sosial diturunkan melalui ibu.
Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi
diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini bertujuan
untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari
Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena
alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya
sebagai keturunan dari surge tinggal di tongkonan, sementara rakyat
jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua).
Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan
mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya
melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka.
Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun
didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak
social yang dapat memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau
perubahan jumlah kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang
dimiliki.
5. Sistem
Ekonomi
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi
Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan
pendukungnya adalahsingkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku
Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara
pengorbanan dan sebagai makanan.
Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi
Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada
tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi
asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha
baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang
berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi untuk kayu dan
minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan
ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap
beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997,
masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi
pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidaksatbilan politik dan
ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di
Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja
lalu dikenal sebagai tempat asal dari kopi indonesia. Kopi Arabika ini terutama
dijalankan oleh pengusaha kecil.
6. Kesenian
v Tongkonan
Tongkonan adalah rumah
tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran
berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari
bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat
kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan
mereka dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun
di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia
meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar..
Ada tiga jenis tongkonan.
Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat
"pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga
yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota
keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
v Ukiran
Kayu
Bahasa Toraja hanya diucapkan
dan tidak memiliki sistem tulisan.Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan
sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau
"tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama
khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong
yang melambangkan kesuburan.
Keteraturan dan ketertiban
merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja, selain itu ukiran kayu Toraja
juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen
Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur. Ornamen
Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur
matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan
taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bamboo untuk
membuat oranamen geometris.
v
Musik dan Tarian
Suku Toraja melakukan tarian
dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk
menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).
Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara
pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing
ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang
pria melakukan tarian dengan pedang, perisai besar dari kulit kerbau, helm
tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali
prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat
upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia
sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia
bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan
almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan
perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual
Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris
lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi
dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian
perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian
diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan
dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua
hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang
penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling
pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja
adalah suling bamboo yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini
dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika
alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan
berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle
yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara
pembukaan rumah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar